..sebuah upaya yang menyuarakan kebanggaan dan kecintaan pada tanah leluhur, tanah sejarah dan tanah peradaban

-Kijoen-

Senin, 22 Februari 2010

Gaduh di Jatitujuh

Catatan : Kijoen

Kenyataan yang tidak bisa dihindari, ketika proses keberlangsungan sistem kemasyarakatan yang dikelola oleh pemerintah -sebut saja desa- mendapat penilaian dan kritikan dari masyarakat selaku pelaksana kebijakan. Pada sisi yang punya orientasi kemajuan, penilaian atau kritik bisa diposisikan sebagai bentuk dinamika yang layak dipertahankan.

Desa Jatitujuh sebagai bagian dari Kecamatan Jatitujuh yang berada pada wilayah pemerintahan Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, adalah sebuah desa yang berada pada posisi "pertemuan" antara dua budaya. Desa Jatitujuh, secara geografis termasuk Jawa Barat, tetapi dalam ranah budaya Desa Jatitujuh lebih dekat dengan budaya Cerbonan atau Dermayon.

Posisi itulah yang menempatkan Desa Jatitujuh punya karakter berbeda dengan desa-desa lain di Kabupaten Majalengka. Kesan keras, ngotot, menang sendiri atau kesan-kesan lain yang lebih akrab dengan kebiasaan tata masyarakat "pantura" sering melekat pada masyarakat Jatitujuh.

Stempel seperti itulah yang mendorong setiap calon kepala desa harus mempersiapkan segala sesuatu sebelum memutuskan untuk tampil dalam ajang pilihan kepala desa atau kuwu di Jatitujuh. Embel-embel lain yang melekat pada wilayah budaya Jatitujuh adalah warisan historial herois Ki Bagusrangin sebagai panglima yang melawan kolonial pada tahun 1818.

Beragamnya warisan budaya itulah yang melahirkan sebuah masyarakat yang punya dinamika tinggi dalam memandang penyelenggaraan pemerintahan. Tak terkecuali pada pemerintahan Desa Jatitujuh sekarang yang dipimpin oleh Ono Masurna selaku Kuwu atau Kepala Desa Jatitujuh.

Belum satu tahun roda pemerintahan dengan jajaran perangkat desa Jatitujuh yang dipimpin Ono Masurna (sejak akhir 2009), sudah mulai menuai kritikan, penilaian, bahkan gunjingan yang bernada miring. Dalam posisi yang bijaksana, tentunya semua yang timbul adalah pengejawantahan dari makna dinamika yang sesungguhnya.

Tetapi, persoalannya tidak sesederhana dalam sebutan dinamika sebatas ucapan. Kultur "pantura" dengan piranti kekerasannya menempatkan dinamika itu pada pengertian lain. Bisa jadi, rongrongan bahkan mungkin usaha "melengserkan" posisi kuwu yang sedang menjabat.

Dinamika masyarakat pada sisi lain, bisa berubah jadi "kegaduhan" yang mengganggu kenyaman sang kuwu. Pergeseran makna inilah yang sangat mungkin timbul, dibutuhkan kedewasaan semua pihak memandang persoalan dinamika yang berlangsung.

Kebijakan yang tumpang tindih, mentalitas perangkat yang tidak ideal, nilai penghasilan desa, hak bengkok, bahkan pergantian perangkat menjadi issu yang dijadikan sumber "kegaduhan" oleh beberapa tokoh masyarakat atau pemuda di Desa jatitujuh.

Hal-hal seperti itulah yang mengemuka ketika Jumat malam Sabtu (12/2) beberapa waktu lalu, sejumlah tokoh berembuk dan berdiskusi. Dengan mengambil tempat di rumah Kang Rouf Dimyati, sejumlah tokoh antara lain, M.Syamsuri Hader, Drs. Ridwan, Memet Rahmat, Tarmidi AM, H. Rafly, Fuad Hasyim, Apuk termasuk penulis berembuk membahas "ketimpangan" penyelenggaraan pemerintahan Desa Jatitujuh.

Analisa beberapa tokoh tersebut mengambil kesimpulan awal yakni, kurangnya ruang dialog yang dibuka oleh sang Kuwu dengan beberapa elemen masyarakat. Analisa itu didasari oleh pengalaman para tokoh yang hadir sebagai bagian dari tata cara pengelola masyarakat pada periode sebelumnya. Tokoh-tokoh yang hadir pada malam itu, adalah tokoh-tokoh yang pernah menjabat pada lembaga BPD di Desa Jatitujuh pada masa pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Kuwu Bada.

Persolannya sekarang adalah, bisakah dinamika yang tengah bergulir itu disikapi dengan bijak oleh Ono Masurna selaku Kuwu, atau bisakah kemudian dibuka katup dialog tersendiri dengan menghadirkan tokoh-tokoh itu sebagai bentuk masukan disamping lembaga resmi BPD yang ada?

Pertanyaan-pertanyaan itu, tentunya kembali pada kebijakan yang dimiliki oleh sang Kuwu. Dengan tidak mengedepankan rasa curiga yang berlebihan seperti harus mengintai beberapa rumah yang dijadikan tempat kumpul. Semuanya berharap bahwa "kegaduhan" yang timbul tak lebih dari sebuah harmoni yang mengalun mengiringi lagu pembangunan di Desa Jatitujuh. Bisakah ?***

1 komentar:

urang jatitujuh aya di jawa mengatakan...

alhamdullillah, Kang Rouf, Kang Syam, Mas Ridwan (kumaha masih setia dengan peci?), To'ev, Rumli, Sarbad. Khusus my Suhu al-ustad Kijoen--beuki kolot wae uey! aku dari jauh merinding, gregetan ingin ikutan seperti teman-teman paduli ka tempat lahir. Coba hidupkan pertemuan-pertemuan warga lewat ronda, pertemuan rutin RT, jangan lupa Pos Yandu Plus (tidak nimbang balita saja, berbagai sektor disuruh ngambil peran, pertanian, pemerintahan dll), gotong royong bersih-bersih kampung digiatkan minimal 1 minggu sekali. Insyaallah "kegaduhan" bisa ada jalan keluarnya sehingga kegaduhan yang satu ini konotasinya positif; kagaduhan=kepunyaan; rasa memiliki terhadap desa dan berjuang untuk kemajuan warganya. Nuhun ach.

Posting Komentar