..sebuah upaya yang menyuarakan kebanggaan dan kecintaan pada tanah leluhur, tanah sejarah dan tanah peradaban

-Kijoen-

Sabtu, 27 Februari 2010

Akhir Pebruari, Siapa Peduli?


Catatan Budaya untuk Desa Jatitujuh
Oleh : Kijoen

Nyaris semua orang pada posisi apapun dalam tatanan kehidupan mendambakan kehidupan yang nyaman. Ketenangan dalam menjalankan fungsi sebagai makhluk sosial diperlukan, bentuk nyaman itulah yang memungkinkan orang mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai bagian dari sistem kemasyarakan yang ditata dan dikelola oleh pemerintah.
Desa adalah salah satu sistem administrasi yang dibuat untuk memudahkan penyelenggaraan yang berjenjang. Baik kewenangan maupun kebijakan strategi politik, yang secara hirarki ada tahapan yang harus dijalaninya.

Masyarakat kita sudah cukup lama memahami itu sejak puluhan tahun lalu, bahkan mungkin ratusan tahun. Sebelum republik ini menjelma, sistem kerajaan menunjukan hirarki yang lebih nyata. Kemerdekaan mendekatkan masyarakat kita pada tata pemerintahan yang berubah. Perlahan namun pasti pemahaman itu mengalami proses yang naik turun.

Desa Jatitujuh, adalah bagian dari Kabupaten Majalengka, sebuah wilayah yang menjadi perbatasan antara Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Indramayu. Catatan sejarah tentang kapan wilayah Jatitujuh masuk dalam wilayah Majalengka, tidak banyak orang tahu. Posisi itulah yang secara budaya, menempatkan Jatitujuh sangat berbeda dengan wilayah lain di Kabupaten Majalengka.

Secara administrasi dan geografis Jatitujuh masuk dalam wilayah Majalengka, secara budaya Jatitujuh lebih akrab dengan budaya Dermayuan atau Cirebonan. Perbedaan itulah yang mendudukan Jatitujuh punya identitas budaya yang jelas jika dibanding wilayah lain.

Identitas budaya itu pula yang mendorong warga masyarakat Desa Jatitujuh mempunya karakter khas. Karakter yang lebih dinilai orang luar sebagai karakter yang “keras dan beringas”. Tapi, orang sangat jarang memahami lebih dalam karakter itu sebagai ungkapan rasa memiliki tanggung jawab terhadap wilayah yang didiaminya. Memang dibutuhkan riset yang pasti mengenai hal itu, tetapi heroisme yang diwariskan Ki Bagusrangin, bisa dijadikan pemahaman awal terhadap “kekerasan” masyarakat Jatitujuh.

Pemerintahan Desa Jatitujuh sejak kemenangan Ono Masurna nyaris satu tahun yang lalu (2008), mulai mengukuhkan karakter masyarakat Desa Jatitujuh. Beberapa ketidak harmonisan mengemuka dengan nyata. Dan masyarakat merasakannya. Ketimpangan lembaga pendamping pemerintah, BPD yang telah mengalami pergantian ketuanya, semakin membuat masyarakat gerah. Lembaga yang diposisikan sebagai keterwakilan dan pendamping pemerintahan, ternyata tidak bisa memenuhi kehendak masyarakat.

Posisi perangkat (pamong) desa, yang walaupun secara struktural adalah hak preogratif kuwu, tetapi dalam penilaian layak atau tidaknya berawal dari penelitian lembaga BPD. Yang menarik adalah ketika BPD Desa Jatitujuh menggariskan kebijakan tentang pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa secara hukum, lantas menentukan batas “tertib” administrasi sampai dengan akhir Pebruari 2010.

Kini, bulan Pebruari 2010 nyaris habis, tidak salah jika kemudian beberapa tokoh masyarakat menggalang pertemuan sekedar peduli pada keputusan Pemerintah Desa dan BPD. Pertanyaannya : akankah rasa penasaran Kang Rouf, Mang Syam, Mang Iwan, Memet, Midi, Apuk dan Abad terjawab oleh kepastian hukum BPD? Kita tunggu.***

0 komentar:

Posting Komentar