..sebuah upaya yang menyuarakan kebanggaan dan kecintaan pada tanah leluhur, tanah sejarah dan tanah peradaban

-Kijoen-

Kamis, 28 Oktober 2010

Surat Terbuka Buat Kadis Porabudpar Kabupaten Majalengka Drs. Rieswan Graha, M.M.Pd



Pak Kadis Yang Terhormat,
Pada awal kenal lewat peristiwa Silaturahmi Seniman Majalengka beberapa waktu lalu, saya merasa menemukan format baru rancang bangun pemikiran kebudayaan dan kesenian yang akan dilakukan oleh institusi yang Bapak pimpin. Format dialogis yang ditawarkan dalam mengelola kebudayaan dan kesenian Kabupaten Majalengka, membuat saya harus menaruh simpati dan hormat pada kebijakan yang Bapak ambil.

Tetapi, sejak kehadiran Bapak dan dialog yang kita lakukan pada peristiwa Dialog Perupa Majalengka di Kandang Konser Kampung Jatitujuh, 25 Oktober 2010 lalu,  dengan segala kerendahan hati saya mesti mempertimbangkan kembali rasa simpati dan hormat itu. Atau mungkin, mencabut rasa simpati dan hormat saya pada Bapak. Bahkan pada kondisi tertentu saya mulai tidak percaya dan tidak yakin pada niat Bapak mengelola kebudayaan dan kesenian di Kabupaten Majalengka. Pertimbangan itu, bukan pertimbangan yang sifatnya asal-asalan, tetapi lahirnya keputusan untuk mencabut simpati dan hormat itu punya alasan yang layak dikedepankan. Tentunya, termasuk resiko yang harus dan akan saya hadapi setelah keputusan itu diambil. Percayalah, dengan mengucap Bismillah serta dengan bersumpah Demi Allah, saya sangat siap menanggung resiko atas keputusan yang saya ambil.

Baik, saya akan merunut alasan yang membuat lahirnya keputusan yang saya ambil. Pencabutan rasa simpati dan hormat saya pada Bapak berawal dari  ucapan Bapak pada sessi Dialog Perupa Majalengka beberapa waktu lalu. Maap,  jika paparan  yang saya ambil tidak sama persis dengan yang Bapak ucapkan. Dengan mengambil analogi tahapan atau jenjang dalam melakukan sebuah gerakan kesenian, Bapak menyebutkan salah satu contoh langkah saya dan 2 orang kawan menemui Bupati sebagai pucuk pimpinan pada 24 Oktober 2010 di pendopo, sebagai langkah yang tidak baik, karena (kata Bapak) seorang Bupati sekali pun tidak akan mengeluarkan uang dari sakunya untuk sebuah kegiatan yang ditawarkan, tetapi harus melalui lembaga atau institusi yang Bapak pimpin. Dan secara kebetulan serta sangat spontan pada saat itu Bupati memanggil Bapak dan mengharapkan Bapak mensikapi program yang kami tawarkan sebagai kegiatan yang harus dipertimbangkan alokasi pendanaannya.

Pak Kadis Yang Terhormat,
Sekilas nampak tidak ada persoalan yang menonjol dari paparan yang saya jadikan alasan untuk tidak percaya serta tidak yakin pada niat Bapak mengelola kebudayaan dan kesenian. Tetapi,
dengan segala pikiran yang proporsional  saya mengajak Bapak memikirkan ulang kalimat Bapak pada sisi prinsipil makna dan pengertian sebuah kalimat. Hal ini sangat penting kita pikirkan, karena pemaknaan dari kalimat Bapak akan senantiasa mendudukan seniman pada posisi yang rendah dan naïf. Pertemuan seniman dengan pucuk pimpinan kekuasaan, akan selalu Bapak tafsirkan sebagai upaya pintas meminta uang. Kalau saja Bapak bukan seorang kepala dinas sebuah lembaga kebudayaan, tentunya pemaknaan kalimat itu tidak penting. Tetapi, pada posisi kepala dinas kebudayaan dan pariwisata, ucapan itu akan merendahkan usaha-usaha dialog seniman dengan pucuk pimpinan kekuasaan. Bisa jadi, pertemuan saya atau kawan seniman lainnya dengan pimpinan dewan, pimpinan BUMN, atau pihak-pihak lain pun diartikan sebagai upaya meminta uang. Alangkah rendah dan naifnya seniman di Majalengka.

Tidak semua upaya membangun dinamika kesenian di Majalengka harus melalui Bapak, ada saatnya dibangun lintas dialog dengan pucuk pimpinan selaku penentu kebijakan dan keputusan. Alangkah repotnya, hanya untuk meminta sudut pandang peristiwa kesenian seorang pucuk pimpinan harus selalu melalui Bapak. Saya menyimpulkan, semua itu berlebihan dan jelas-jelas keterlaluan. Maap, saya bukan tidak paham tahapan atau jenjang, tetapi ada saat tertentu wilayah -wilayah birokratis harus dilewati untuk hasil yang bisa jadi dianggap maksimal serta efisien.

Pak Kadis Yang Terhormat,
Bapak berhak punya alasan atas kalimat yang Bapak sampaikan pada pertemuan di Jatitujuh beberapa waktu lalu. Tetapi, apa pun alasan yang Bapak sampaikan, tidak akan menyurutkan niat saya untuk mengurangi rasa hormat dan ketidakpercayaan pada niat Bapak.  Bahkan tidak akan menyurutkan niat saya untuk mengambil  jarak dengan program lembaga Bapak. Dalam pikiran saya, kalimat Bapak mencerminkan sikap Bapak terhadap keberadaan seniman dalam konteks dialog, kekuasaan dan seniman. Sikap yang Bapak miliki bukan dasar yang baik untuk membangun dinamika kesenian di Majalengka.

Saya mungkin dianggap egois. Keegoisan itu pula yang mendorong saya mengambil sikap, sangat siap dengan resiko yang bakal saya hadapi. Yang penting, saya tetap mengukuhkan memperjuangankan kesenian Majalengka dengan cara dan strategi  yang saya pahami, Bapak pun silahkan menegakan kesenian Majalengka dengan pola yang Bapak percayai.
Selamat Berjuang !

Jatitujuh, 27 Oktober 2010
Kijoen, cuma seorang seniman.

Baca Selengkapnya.......

Senin, 03 Mei 2010

Surat Kaleng, Abaikan Saja

Catatan : Kijoen

Ada beberapa catatan penting dalam perkembangan Desa Jatitujuh dalam kurun waktu akhir April 2010. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam urun rembug pembangunan desa sudah mulai nampak, kepekaan Kepala Desa/Kuwu dalam menyikapi dinamika mulai diwujudkan dengan membuka diri terhadap masukan dan kritikan dari berbagai pihak.

Gejala ini membanggakan sekaligus juga akan mengukuhkan bahwa dinamika dan dialektika masyarakat Desa Jatitujuh tidak pernah berhenti. Masyarakat pada pengertian ini benar-benar menjadi bagian tidak terpisahkan dari roda pembangunan yang digulirkan oleh Ono Masurna selaku Kepala Desa/Kuwu Jatitujuh beserta jajarannya.

Tetapi, selalu ada hukum alam yang juga mengikuti guliran itu. Ketika rasa puas mulai menggelinding, sisi lain pun rasa ketidakpuasan menyeruak ditengah-tengah arus kepuasan. Sebagai wacana pembelajaran, bisa jadi ketidakpuasan itu menjadi bahan kajian yang menarik jika disampaikan dengan cara dan aturan yang disepakati oleh norma-norma yang bisa diterima oleh semua kalangan.

Persoalannya, guliran ketidakpuasan itu menyeruak dengan cara yang tidak profesional, atau sangat mungkin bisa disebut cara yang pengecut. Dua minggu terakhir menutup bulan April 2010, pada beberapa kalangan tertentu di pemerintahan Desa Jatitujuh beredar sebuah surat yang berisi masukan dan kritikan terhadap keberlangsungan pemerintahan Desa Jatitujuh. Surat itu ditujukan kepada Kepala Desa/Kuwu Jatitujuh, BPD dan beberapa tokoh masyarakat. Sayang sekali surat itu tidak mencantumkan dengan jelas alamat pengirim.

Hadirnya surat itu, bisa kita petakan sebagai fenomena budaya "membokong" yang sudah lama tidak muncul di Jatitujuh. Pada beberapa periodesasi pemerintahan Desa Jatitujuh, budaya surat kaleng sudah dianggap budaya yang tidak bertanggung jawab dan sikap pengecut, apalagi sejak Komite Peduli Desa Jatitujuh berdiri sejak satu dekade yang lalu.

Muncul kembalinya budaya membokong melalui surat kaleng, tentunya menjadi bahan pemikiran kita tentang dinamika atau dialektika yang mungkin menjadi salah arti dan kurang dipahami tujuannya. Tetapi, yang utama adalah, dinamika mengedepankan sikap jantan dan bertanggungjawab, dinamika mengutamakan dialog yang terbuka. Jadi, surat kaleng walau mungkin isinya menarik, abaikan saja !***

Baca Selengkapnya.......

Selasa, 27 April 2010

Dialog, Cara Paling Tepat

Catatan : Kijoen

Titik temu semua persoalan yang menyangkut perkembangan Desa Jatitujuh nampaknya akan segera dilakuan. Pertemuan awal di rumah salah seorang pengurus BPD Desa Jatitujuh. Pertemuan non formal antara pengurus BPD diantaranya Ketua BPD Desa Jatitujuh, salah seorang perangkat desa yaitu Raksabumi Sakrib dan salah seorang anggota Komite Peduli Desa menghasilkan hal-hal yang cukup layak dikedepankan sebagai program keberlangsungan dan keharmonisan desa.

Pertemuan yang dilakukan pada hari Minggu, 25 April 2010 bertempat di rumah Sdr Kusnaedi, mengukuhkan soal niat baik membangun desa dengan berbagai sudut pandang. Persoalan dinamika dan dialektika kehidupan masyarakat Jatitujuh menjadi bahan obrolan yang menarik.

Pandangan ke depan soal keberlangsungan harmonisasi elemen masyarakat harus didasarkan pada beberapa hal antara lain : sosial budaya, administrasi dan yang utama adalah kehidupan beragama. Hal-hal seperti itulah yang menjadi acuan dasar pembicaraan.

Dialog akhirnya menjadi pilihan utama yang harus dilakukan ketika semua elemen masyarakat dihadapkan pada berbagai persoalan. Tak terkecuali Desa Jatitujuh. Adanya niat baik dari Kepala Desa/Kuwu Jatitujuh Ono Masurna untuk membangun iklim dialog adalah bentuk perubahan yang besar dan patut dihargai.

Persoalannya kini adalah semata-mata soal waktu dan kerelaan memaknai dialog sebagai upaya saling memberi dan menghargai. Kalau pemaknaan itu berhasil dilakukan maka perbedaan pendapat akan semakin kukuh ditempatkan sebagai dinamika dan dialektika masyarakat Desa Jatitujuh yang benar-benar sedang bergerak ke arah perubahan yang lebih baik.Kita percaya, semua bisa dilakukan. Semoga.***

Baca Selengkapnya.......

Sabtu, 27 Februari 2010

Akhir Pebruari, Siapa Peduli?


Catatan Budaya untuk Desa Jatitujuh
Oleh : Kijoen

Nyaris semua orang pada posisi apapun dalam tatanan kehidupan mendambakan kehidupan yang nyaman. Ketenangan dalam menjalankan fungsi sebagai makhluk sosial diperlukan, bentuk nyaman itulah yang memungkinkan orang mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai bagian dari sistem kemasyarakan yang ditata dan dikelola oleh pemerintah.
Desa adalah salah satu sistem administrasi yang dibuat untuk memudahkan penyelenggaraan yang berjenjang. Baik kewenangan maupun kebijakan strategi politik, yang secara hirarki ada tahapan yang harus dijalaninya.

Masyarakat kita sudah cukup lama memahami itu sejak puluhan tahun lalu, bahkan mungkin ratusan tahun. Sebelum republik ini menjelma, sistem kerajaan menunjukan hirarki yang lebih nyata. Kemerdekaan mendekatkan masyarakat kita pada tata pemerintahan yang berubah. Perlahan namun pasti pemahaman itu mengalami proses yang naik turun.

Desa Jatitujuh, adalah bagian dari Kabupaten Majalengka, sebuah wilayah yang menjadi perbatasan antara Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Indramayu. Catatan sejarah tentang kapan wilayah Jatitujuh masuk dalam wilayah Majalengka, tidak banyak orang tahu. Posisi itulah yang secara budaya, menempatkan Jatitujuh sangat berbeda dengan wilayah lain di Kabupaten Majalengka.

Secara administrasi dan geografis Jatitujuh masuk dalam wilayah Majalengka, secara budaya Jatitujuh lebih akrab dengan budaya Dermayuan atau Cirebonan. Perbedaan itulah yang mendudukan Jatitujuh punya identitas budaya yang jelas jika dibanding wilayah lain.

Identitas budaya itu pula yang mendorong warga masyarakat Desa Jatitujuh mempunya karakter khas. Karakter yang lebih dinilai orang luar sebagai karakter yang “keras dan beringas”. Tapi, orang sangat jarang memahami lebih dalam karakter itu sebagai ungkapan rasa memiliki tanggung jawab terhadap wilayah yang didiaminya. Memang dibutuhkan riset yang pasti mengenai hal itu, tetapi heroisme yang diwariskan Ki Bagusrangin, bisa dijadikan pemahaman awal terhadap “kekerasan” masyarakat Jatitujuh.

Pemerintahan Desa Jatitujuh sejak kemenangan Ono Masurna nyaris satu tahun yang lalu (2008), mulai mengukuhkan karakter masyarakat Desa Jatitujuh. Beberapa ketidak harmonisan mengemuka dengan nyata. Dan masyarakat merasakannya. Ketimpangan lembaga pendamping pemerintah, BPD yang telah mengalami pergantian ketuanya, semakin membuat masyarakat gerah. Lembaga yang diposisikan sebagai keterwakilan dan pendamping pemerintahan, ternyata tidak bisa memenuhi kehendak masyarakat.

Posisi perangkat (pamong) desa, yang walaupun secara struktural adalah hak preogratif kuwu, tetapi dalam penilaian layak atau tidaknya berawal dari penelitian lembaga BPD. Yang menarik adalah ketika BPD Desa Jatitujuh menggariskan kebijakan tentang pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa secara hukum, lantas menentukan batas “tertib” administrasi sampai dengan akhir Pebruari 2010.

Kini, bulan Pebruari 2010 nyaris habis, tidak salah jika kemudian beberapa tokoh masyarakat menggalang pertemuan sekedar peduli pada keputusan Pemerintah Desa dan BPD. Pertanyaannya : akankah rasa penasaran Kang Rouf, Mang Syam, Mang Iwan, Memet, Midi, Apuk dan Abad terjawab oleh kepastian hukum BPD? Kita tunggu.***

Baca Selengkapnya.......

Batas Waktu pun Membias

Catatan : Kijoen

Pertemuan demi pertemuan para tokoh Desa Jatitujuh seakan tak berhenti, semua itu dilakukan atas nama kepedulian terhadap keberlangsungan sistem dan tata masyarakat yang diidealkan. Dalam sudut pandang para tokoh yang kembali berkumpul di rumah Memet Rahmat beberapa waktu lalu (23/2), mengisyaratkan bahwa ada suasana kurang harmonis tengah berlangsung.


Posisi pamong (perangkat) desa yang belum legal, membuat para tokoh menentukan sikap untuk segera bertemu dengan pucuk pimpinan BPD Desa Jatitujuh. Sikap itu dipicu oleh belum diterbitkannya surat pengangkatan oleh kuwu terhadap beberapa perangkat desa. Sementara masa kerja perangkat tersebut sudah nyaris satu tahun. Persoalan lain adalah, meminta pertanggungjawaban kelembagaan BPD yang telah memberikan tenggang waktu kepada perangkat yang belum memenuhi syarat administrasi pada akhir Pebruari 2010 ini.

Pada kesempatan itu, sebagian tokoh yang hadir sepakat pembenahan aparatur perangkat akan memuluskan roda tata kerja sistem kemasyarakatan yang dipimpin Kuwu Ono Masurna. Beberapa tokoh yang hadir antara lain : Kang Rouf Dimyati, Apuk, Fuad Hasyim, Drs. Ridwan, Drs. Dadan, Asep dan Memet Rahmat, nyaris semuanya membulatkan "niat" untuk tetap pada konsep kepedulian terhadap Desa Jatitujuh.

Pada kesempatan itu pula, dikaji beberapa kemungkinan kepentingan lain yang dikhawatirkan menggunakan rasa peduli para tokoh untuk dijadikan alat politik yang akan membuat masyarakat makin bingung bahkan kisruh.

Drs. Dadan dan Memet Rahmat, pada kesempatan itu mempertegas bahwa gerakan yang dibangun adalah gerakan murni untuk membangun rasa peduli terhadap Desa Jatitujuh. Tokoh lain pun yang hadir, punya kepentingan yang sama. Dialog-dialog yang dilakukan, bahkan kritik tajam yang terlontar pada pertemuan itu, semata-mata didasarkan pada konsep pemberdayaan masyarakat dan mengedapankan dinamika yang harus dijaga.

Maka, jika kemudian pertemuan itu mengerucut pada pertanggungjawaban bahasa hukum institusi BPD Desa Jatitujuh, adalah sesuatu yang wajar. Secara tidak langsung, pangkal persoalan yang mengemuka adalah hubungan secara hukum antara BPD dan Pemerintahan Desa Jatitujuh.

Kini yang menjadi pertanyaan dan persoalan adalah, sudah sejauh manakah pihak Pemerintah Desa Jatitujuh dan BPD mempersiapkan produk hukum, ketika batas waktu yang mereka canangkan mendekati pada titik akhir? Kita lihat dan nantikan.***

Baca Selengkapnya.......

Senin, 22 Februari 2010

Gaduh di Jatitujuh

Catatan : Kijoen

Kenyataan yang tidak bisa dihindari, ketika proses keberlangsungan sistem kemasyarakatan yang dikelola oleh pemerintah -sebut saja desa- mendapat penilaian dan kritikan dari masyarakat selaku pelaksana kebijakan. Pada sisi yang punya orientasi kemajuan, penilaian atau kritik bisa diposisikan sebagai bentuk dinamika yang layak dipertahankan.

Desa Jatitujuh sebagai bagian dari Kecamatan Jatitujuh yang berada pada wilayah pemerintahan Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, adalah sebuah desa yang berada pada posisi "pertemuan" antara dua budaya. Desa Jatitujuh, secara geografis termasuk Jawa Barat, tetapi dalam ranah budaya Desa Jatitujuh lebih dekat dengan budaya Cerbonan atau Dermayon.

Posisi itulah yang menempatkan Desa Jatitujuh punya karakter berbeda dengan desa-desa lain di Kabupaten Majalengka. Kesan keras, ngotot, menang sendiri atau kesan-kesan lain yang lebih akrab dengan kebiasaan tata masyarakat "pantura" sering melekat pada masyarakat Jatitujuh.

Stempel seperti itulah yang mendorong setiap calon kepala desa harus mempersiapkan segala sesuatu sebelum memutuskan untuk tampil dalam ajang pilihan kepala desa atau kuwu di Jatitujuh. Embel-embel lain yang melekat pada wilayah budaya Jatitujuh adalah warisan historial herois Ki Bagusrangin sebagai panglima yang melawan kolonial pada tahun 1818.

Beragamnya warisan budaya itulah yang melahirkan sebuah masyarakat yang punya dinamika tinggi dalam memandang penyelenggaraan pemerintahan. Tak terkecuali pada pemerintahan Desa Jatitujuh sekarang yang dipimpin oleh Ono Masurna selaku Kuwu atau Kepala Desa Jatitujuh.

Belum satu tahun roda pemerintahan dengan jajaran perangkat desa Jatitujuh yang dipimpin Ono Masurna (sejak akhir 2009), sudah mulai menuai kritikan, penilaian, bahkan gunjingan yang bernada miring. Dalam posisi yang bijaksana, tentunya semua yang timbul adalah pengejawantahan dari makna dinamika yang sesungguhnya.

Tetapi, persoalannya tidak sesederhana dalam sebutan dinamika sebatas ucapan. Kultur "pantura" dengan piranti kekerasannya menempatkan dinamika itu pada pengertian lain. Bisa jadi, rongrongan bahkan mungkin usaha "melengserkan" posisi kuwu yang sedang menjabat.

Dinamika masyarakat pada sisi lain, bisa berubah jadi "kegaduhan" yang mengganggu kenyaman sang kuwu. Pergeseran makna inilah yang sangat mungkin timbul, dibutuhkan kedewasaan semua pihak memandang persoalan dinamika yang berlangsung.

Kebijakan yang tumpang tindih, mentalitas perangkat yang tidak ideal, nilai penghasilan desa, hak bengkok, bahkan pergantian perangkat menjadi issu yang dijadikan sumber "kegaduhan" oleh beberapa tokoh masyarakat atau pemuda di Desa jatitujuh.

Hal-hal seperti itulah yang mengemuka ketika Jumat malam Sabtu (12/2) beberapa waktu lalu, sejumlah tokoh berembuk dan berdiskusi. Dengan mengambil tempat di rumah Kang Rouf Dimyati, sejumlah tokoh antara lain, M.Syamsuri Hader, Drs. Ridwan, Memet Rahmat, Tarmidi AM, H. Rafly, Fuad Hasyim, Apuk termasuk penulis berembuk membahas "ketimpangan" penyelenggaraan pemerintahan Desa Jatitujuh.

Analisa beberapa tokoh tersebut mengambil kesimpulan awal yakni, kurangnya ruang dialog yang dibuka oleh sang Kuwu dengan beberapa elemen masyarakat. Analisa itu didasari oleh pengalaman para tokoh yang hadir sebagai bagian dari tata cara pengelola masyarakat pada periode sebelumnya. Tokoh-tokoh yang hadir pada malam itu, adalah tokoh-tokoh yang pernah menjabat pada lembaga BPD di Desa Jatitujuh pada masa pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Kuwu Bada.

Persolannya sekarang adalah, bisakah dinamika yang tengah bergulir itu disikapi dengan bijak oleh Ono Masurna selaku Kuwu, atau bisakah kemudian dibuka katup dialog tersendiri dengan menghadirkan tokoh-tokoh itu sebagai bentuk masukan disamping lembaga resmi BPD yang ada?

Pertanyaan-pertanyaan itu, tentunya kembali pada kebijakan yang dimiliki oleh sang Kuwu. Dengan tidak mengedepankan rasa curiga yang berlebihan seperti harus mengintai beberapa rumah yang dijadikan tempat kumpul. Semuanya berharap bahwa "kegaduhan" yang timbul tak lebih dari sebuah harmoni yang mengalun mengiringi lagu pembangunan di Desa Jatitujuh. Bisakah ?***

Baca Selengkapnya.......